Mengkaji Ulang Remisi Koruptor Mengkaji Ulang Remisi Koruptor ~ Studying Health Sciences

Jumat, 18 November 2011

Mengkaji Ulang Remisi Koruptor


Oleh: Suwardi., SE. Sy*

 Budaya korupsi di negeri ini sudah kian massif. Bahkan Koruptorpun sudah seperti pahlawan yang baru pulang dari medan perang dan memperoleh kemenangan yang sangat berharga. Mereka dilayani layaknya raja yang sedang berkuasa. Koruptor bahkan disegani dan lebih terhormat ketimbang ulama atau dai yang memberi khutbah kesana kemari. Koruptor menjadi idola para penegak hukum di negeri ini. Sebab, dengan kehadiran koruptor, penghasilan para penegak hukum terkadang naik tiga kali lipat dari pendapatan yang biasa mereka terima.
Apakah sudah menjadi doktrin atau hanya kebetulan semata. Para pejabat di negeri ini seolah berlomba melakukan korupsi, baik secara munfarid maupun berjama’ah. Korupsi sudah dianggap hal yang lumrah dan terhormat, daripada melakukan pencurian di rumah tetangga. Bahkan di tengah jeritan jutaan rakyat negeri ini yang kelaparan dan tidak memiliki penghidupan yang layak, para koruptor masih tetap bersandiwara dengan adegan-adegan yang membuat rakyat negeri ini merasa muak dan ingin memuntahkan seluruh isi perut yang ada. 
Betapa tidak. Hukum yang menjadi panglima di era Reformasi tidak lagi memiliki taring dan cakar yang tajam yang siap menerkam siapa saja untuk dimangsa. Tetapi hukum sudah menjadi budak nafsu para koruptor. Hukum sudah seperti barang dagangan yang diperjualbelikan di toko-toko kelontong dan warteg. Siapa yang memiliki uang untuk membeli hukum, dia bisa menggunakan hukum sesuka hati. 
Hal ini dapat kita lihat dari semua episode penegakan hukum yang melibatkan para koruptor di Indonesia yang melibatkan para pejabat kelas satu. Mereka dapat bebas dengan mudah, memperoleh hukuman yang ringan dan fasilitas mewah dalam penjara (seperti Artalyta Suryani) yang seharusnya dapat membuat mereka jera.
 Kebahagiaan para koruptor tidaklah berhenti hanya sampai pada proses pengadilan dan vonis saja. Tetapi kebahagiaan koruptor terus berlanjut hingga sampai proses penahanan berlangsung. Sebab, tahanan koruptor tidak akan menjalani seluruh masa tahanan yang dijatuhkan kepadanya. Atas nama Hak Asasi Manusia, Negara yang patuh terhadap konsensus PBB ini masih memberikan belas kasih yang tidak terhingga kepada koruptor dengan nama Remisi.
 Landasan Yuridis
Pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan dalam hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Teknisnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
 Secara umum, remisi diberikan berdasar dua syarat. Yakni, berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi, narkotika, dan lainnya.
 Ketentuan ini sebenarnya telah memperketat pemberian remisi bagi koruptor. Jika sebelumnya, menurut PP 32/1999, remisi dapat diberikan setelah menjalani enam bulan masa hukuman saja, sekarang para koruptor harus menjalani sepertiga masa hukuman jika hendak mendapatkan remisi.
 Namun, inti persoalan remisi bagi koruptor bukanlah masalah ketatnya persyaratan. Tapi, substansinya lebih kepada eksistensi kebijakan tersebut. Dengan demikian, pertanyaanya adalah apakah remisi bagi koruptor sebuah keharusan? Jika secara hukum remisi dapat diberikan kepada koruptor, apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak perlu dan harus dihapuskan.
 Koruptor seharusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
 Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu. Namun, kejahatan korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Karena itu, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.
 Koruptor seharusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan (baca: keistimewaan yang diterima oleh Artalita Suryani alias Ayin dengan menyulap ruang tahanan menjadi istana pribadi bintang lima), termasuk mendapat remisi.
 Sebab, menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara. Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi, selama ini pengadilan selalu memberikan hukuman yang ringan bagi koruptor. Dengan menerima remisi, koruptor tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali.
 Oleh karena itu, penghapusan remisi bagi koruptor merupakan keputusan yang layak diterapkan. Alasan berkelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi, biasanya motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk mengejar remisi. Penolakan terhadap remisi yang diberikan kepada koruptor juga harus pula diikuti dengan melakukan pemiskinan kepada koruptor.
 Memiskinkan Koruptor
Koruptor selalu mengukur semua masalah hanya dengan uang. Uang sudah menjadi dewa penyelamat yang senantiasa melindungi dan memberi rahmat kepada koruptor. Dengan uang inilah para koruptor dapat bebas melakukan apa saja demi cita-citanya. Dengan uang, para koruptor dapat membeli hukum dan vonis. Dengan uang pula para koruptor dapat membeli Negara ini.
 Oleh karena itu tindakan untuk memiskinkan koruptor harus menjadi salah satu agenda penegakan hukum yang melibatkan terpidana koruptor dengan jalan menyita seluruh asset (deposito, tanah, bangunan, dan kendaraan) yang dianggap berasal dari hasil korupsi selama proses penyidikan, penyelidikan dan pengadilan berlangsung. Dengan demikian, kekuatan koruptor untuk dapat membeli hukum dapat ditekan dan ditahan dengan daya dorong yang kuat. Sebab, dewa yang selama ini membuatnya menjadi raja telah lemah dan tidak lagi berdaya.
 Penutup
Keluguan para pemimpin negeri ini dalam menangani kasus korupsi sudah menjadikan Indonesia sebagai lahan subur dan menjanjikan bagi kehidupan endemic korupsi. Sehingga korupsi dapat terus tumbuh subur dan selalu mendapatkan lahan baru yang menjanjikan bagi kahidupannya.
 Oleh karena itu Hari Antikorupsi Internasional kali ini (9 Desember 2010) harus menjadi momentum untuk melakukan pemberantasan korupsi secara konsekuen dengan cara menghapuskan remisi dan juga melakukan pemiskinan bagi para koruptor tanpa memandang bulu dan asal usul warna partai. Akhirnya, penulis mengajak kepada kita semua untuk menjadikan koruptor sebagai musuh bersama dan bukan menempatkannya sebagai Pahlawan yang perlu diberi belas kasih dan penghargaan berupa remisi. Wassalam…

*Penulis adalah Kolumnis dan Pemerhati Sosial-Ekonomi-Politik serta Wakil Direktur Forum for Studies of Islamic Thaught and Civilization

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar